Tikar
pandan khas Bawean menjadi peluang usaha. Selama ini, pesanan dari
mancanegara sebanarnya selalu ada, tapi karena tidak dilengkapi dengan
teknologi produksi yang memadai, sejumlah tawaran itu tidak disanggupi
oleh para pengrajin tikar pandan di Gunungteguh.
OLEH ASEPTA YP
Beberapa
ibu-ibu di Gunungteguh membuat kerajinan tikar pandan untuk mendapatkan
uang tambahan. Dan karena hanya dianggap sebagai kerja sambilan, usaha
tikar pandan tidak tergarap dengan maksimal, padahal beberapa tahun lalu
sejumlah investor asing, khususnya dari Singapura meminta dipasok tikar
pandan asli Bawean untuk dipasarkan di beberapa negara.
“Mereka
tertarik pada tikar pandan Gunungteguh karena tikar ini dikerjakan
dengan sangat telaten, selain itu jika dipakai pada musim dingin, tikar
ini terasa hangat. Dan sebaliknya, ketika dipakai pada musim panas akan
terasa sejuk,” kata Hasbullah, Kepala Desa Gunungteguh.
Mungkin
kerjasama ini akan terus berlanjut hingga sekarang jika warga
Gunungteguh mampu menyanggupi permintaan yang diajukan oleh investor
asal Singapura itu. Mereka meminta ukuran tikar dengan panjang 2,5 meter
dan lebar 2 meter. Masalahnya di sini, ibu-ibu setempat tidak bisa
menyanggupi permintaan investor karena keterbatasan ukuran bahan baku
pandan.
“Ketika
saya kumpulkan ibu-ibu pengrajin tikar pandan ternyata mereka tidak
sanggup, karena mereka kesulitan bahan baku pandan yang panjangnya bisa
digunakan untuk membuat tikar selebar dua meter. Sebab, lebar tikar,
tergantung dari panjang pandan, sebab dianyam miring, sedangkan untuk
panjang tikar, kita bisa leluasa,” jelas Hasbullah yang menjabat sebagai
kepala desa Gunungteguh sejak tahun 1999 lalu itu.
Saat
itu, tambah Hasbullah, dia bersama ibu-ibu pengrajin tikar pandan
pernah mengusahakan dengan menyambung panjang pandan dengan harapan
lebar tikar yang dihasilkan bisa hingga dua meter. Tapi hasilnya
mengecewakan, mereka maksimal bisa menghasilkan tikar dengan lebar 180
centimeter.
“Agar
bisa menghasilkan tikar dengan panjang 180 centimeter dibutuhkan
panjang pandan dua meter lebih, karena anyamannya miring, itu saja
pengerjaannya sangat susah dan membutuhkan waktu hingga dua bulan, sebab
hanya digarap dengan tangan, alias manual. Selain itu, tidak ada daun
pandan yang panjangnya dua meter lebih, jadi harus disambung,” papar
Hasbullah.
Artinya,
jika ada teknologi atau mesin yang bisa membuat tikar pandan dengan
lebar hingga dua meter, atau ada strategi khusus yang bisa menghasilkan
panjang pandan lebih dari dua meter, tikar pandan khas Gunungteguh ini
adalah peluang usaha yang potensial. Sebab, diungkapkan Hasbullah
permintaan tikar pandan Gunungteguh dari baik pasar lokal ataupun
interasional selalu berdatangan.
Labih
lanjut Hasbullah mengatakan, dia juga kesulitan untuk memenuhi
kebutuhan dalam jumlah besar, sebab di desanya hanya ada sekitar 30
ibu-ibu yang saat ini masih eksis membuat tikar pandan, sepuluh ibu-ibu
itu diantaranya tinggal di Dusun Teguh dan 20 sisanya berada di Dusun
Menara Desa Gunungteguh. “Untuk membuat sebuah tikar saja membutuhkan
waktu berminggu-minggu,” jelas Hasbullah.
Jadi,
karena tidak digarap dengan teknologi yang memadai, tikar pandan
Gunungteguh saat ini susah pemasarannya. “Seandainya kami bisa memnuhi
permintaan investor dari mancanegara itu, tentu kerajinan tikar pandan
saat ini desa kami bukan sekedar kerja sambilan, tapi menjadi pekerjaan
utama,” tuturnya.
Kendati
hanya digarap dengan sistem tradisional, permintaan untuk pasar lokal
masih ada, seringkali wisatawan domestik dari luar Bawean selalu membeli
tikar pandan Gunungteguh untuk dibawa ke daerahnya. “Selain itu, banyak
juga turis dari mancanegara yang berminat membeli tikar pandan untuk
dibawa ke negaranya,” kata Hasbullah sambil menambahkan jika tikar-tikar
ibu-ibu di desanya tidak laku dijual di pasar-pasar Bawean, dia
bersedia menampung untuk diunakan sebagai stok permintaan dari
pengunjung yang datang ke Pulau Putri (julukan Pulau Bawean) ini.
“Saya
beli tikar ibu-ibu yang tidak laku di pasar, tentunya dengan harga
standar, kemudian saya jual kepada wisatawan yang datang ke Bawean.
Harga yang kami tawarkan berkisar antara Rp 40 ribu hinga Rp 50 ribu,
tergantung lebar dan model anyaman, kami tidak mengambil untung besar,
karena tujuan kami sekaligus promosi,” imbuhnya. Terkait harga,
Hasbullah membenarkan jika harganya yang ditawarkan terlalu mahal jika
dibandingkan dengan alas berbahan plastik. “Tapi, tikar pandan
Gunungteguh sangat nyaman apabila digunakan, dan bisa berahan lebih dari
sepuluh tahun,” tandasnya.
Dipaparkan
Hasbullah, ada 15 motif atau corak anyaman tikar pandan Gunungteguh,
antara lain to’an, palikat, daniris, gambir, peti susun atau tehel,
seksek bange, beras tumpah, mata itik, mata lembu, bulu ayam, okel-okel,
kalara sasebek, polosan, songket, dan mata-mata. “Saat ini anyaman
pandan itu, tidak hanya kami buat untuk tikar, tapi juga untuk sajadah,
tas, dompet, taplak meja, vas bunga, kaligrafi, topi, dan beberapa jenis
lainnya,” kata Hasbullah.
Sebenarnya
proses pembuatannya tidak terlalu susah, namun dibutuhkan ketelatenan
dan kesabaran ekstra. Mula-mula diambil pandan yang biasanya ditanam di
kebun, tapi pandan yang digunakan bukanlah pandan yang berbau wangi dan
biasa digunakan untuk memasak, tapi pandan liar dengan daun yang
panjangnya sekitar 1,5 meter lebih dan berduri.
Kemudian
daun pandan diiris kecil-kecil sesuai dengan lebar yang dibutuhkan,
biasanya 0,5 centimeter. Sesudah diiris kemudian direbus hingga beberapa
jam, selanjutnya dijemur di terik matahari hingga daun pandan itu
berwarna putih, biasanya selama tiga hari. Tapi, ketika belum sepenuhnya
kering, pandan diambil dan kembali direbus dengan dicampuri.